Sabtu, 03 Januari 2009

Anggota Konggres Faleomavaega Dan Anggota Konggres Payne Menyerukan Kepada Negara-Negara Afrika Agar Meminta PBB Tinjau Ulang Papua Barat

Washington DC, 16 Desember 2005
UNTUK DIUMUMKAN SEGERA

Dikeluarkan Oleh Konggres Amerika Serikat
Diterjemahkan oleh : E. Kayep - Front Pepera PB
-----------------------------------------------------------

Anggota Konggres Eni Faleomavaega (D-Samoa Amerika), Anggota Tetap Subkomisi Hubungan Internasional Urusan Asia dan Pasifik dan Anggota Konggres Donald M. Payne (D-New Jersey), Anggota Tetap Subkomisi Hubungan Internasional Urusan Afrika, Hak Azasi Manusia Global dan Operasi Internasional mengumumkan hari ini bahwa mereka telah menyerukan kepada negara-negara Afrika agar meminta suatu tinjauan ulang atas tindakan Perserikatan Bangsa-Bangsa di Papua Barat.

Permintaan kedua Anggota Konggres tersebut muncul sebagai respons atas sebuah Surat Petisi yang pernah mereka kirim kepada Sekjen PBB Kofi Annan pada tanggal 14 Maret 2005 hal mana mereka meminta dukungan Sekjen PBB dalam pelaksanaan sebuah peninjauan kembali terhadap Pepera 1969, dimana 1.025 Orang-Orang Tua Papua Barat dipaksa dan dimanipulasi dalam pemungutan suara yang, dengan suara bulat, atas nama 800.000 Orang Papua, menyatakan menjadi bagian dari Indonesia dari pada Merdeka sendiri. Walaupun PBB menyetujui Pepera 1969, tindakan tersebut secara umum dianggap oleh Masyarakat Internasional sebagai sebuah siasat curang yang digunakan oleh mantan Presiden Soeharto dan rezim militernya untuk memegang kendali atas Papua Barat, sebuah wilayah yang kaya akan sumber daya alam, mencakup emas, perak, tembaga, minyak dan gas. Kenyataannya, Dokumen-Dokumen Rahasia Amerika Serikat menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia tahu bahwa membiarkan sebuah referendum terbuka akan mendorong kemerdekaan Papua Barat.

Dalam sebuah surat tertanggal 26 September 2005, Sekjen PBB menyampaikan kepada Anggota Konggres Faleomavaega dan Anggota Konggres Payne bahwa ia akan mempertimbangkan sebuah peninjauan ulang menyangkut Pepera 1969 dan apa yang dilakukan oleh PBB di Papua Barat jika Majelis Umum PBB menuntut itu. Seandainya Majelis Umum memutuskan untuk meninjau kembali issu ini, Sekjen Annan telah meyakinkan bahwa ia akan bekerja sungguh-sungguh untuk menerapkan mandat dari Majelis Umum itu.

Karena alasan ini, Anggota Konggres Faleomavaega dan Anggota Konggres Payne telah meminta para duta besar yang mewakili negara-negara Afrika di PBB untuk memulai suatu seruan untuk peninjauan kembali oleh Majelis Umum. Menurut sejarah, negara-negara Afrika pernah berkeberatan terhadap hasil Pepera 1969. Duta Besar Bolivia, Ortiz-Sanz, yang memantau pemungutan suara dalam posisinya sebagai utusan PBB juga mencatat bahwa referendum telah terjadi tanpa kebebasan politik sebagaimana dijamin oleh Perjanjian New York Tahun 1962 yang ditengahi Amerika Serikat, yang menetapkan pedoman bagi penarikan Belanda dari Papua Barat.

Duta Besar Ortiz-Sanz mengeluarkan pernyataan berikut dalam laporannya :

"Saya menyesal, harus mengekspresikan keberatan saya terhadap penerapan Artikel XXII Perjanjian New York yang berkenaan dengan ’Hak-Hak, termasuk hak kebebasan berbicara, kebebasan bertindak dan kebebasan berkumpul dari penduduk wilayah itu’. Meskipun saya berupaya terus-menerus, ketetapan yang penting ini tidak sepenuhnya diterapkan dan Pemerintah Indonesia terus-menerus mencoba memperketat kontrol politik atas seluruh penduduk".

Kendatipun ada Laporan dari Duta Besar, Kesaksian dari Pers (Para Wartawan), Oposisi dari Lima Belas Negara dan Tangisan Permintaan Bantuan dari Orang-orang Papua Barat sendiri, PBB menyetujui tindakan Indonesia dan, pada tanggal 10 September 1969, Papua Barat resmi menjadi pelengkap penderita dari Aturan-aturan Indonesia. Sejak Indonesia mengambil kendali atas Papua Barat, Orang-Orang Asli Papua telah secara nyata menderita Pelanggaran Hak Azasi Manusia, termasuk Pembunuhan Kilat, Pemerkosaan, Kekerasan Seksual dan Pengrusakan seperti, mengacu pada Pernyataan Afrim Djonbalic Tahun 1998 kepada PBB, "Pengrusakan Lingkungan, Penghisapan Kekayaan Alam dan Dominasi Perdagangan oleh Orang-Orang Pendatang". Penghisapan terhadap Sumber Daya Alam ini meliputi Cadangan Emas, Tembaga, Nikel, Minyak dan Gas yang mana telah mencapai lebih dari $ 45 Milyar. Tenaga Kerja Lokal telah digunakan dalam Penghisapan Sumber Daya Alam ini dengan ganti rugi kepada Orang-Orang Papua yang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali.

Suatu studi terbaru oleh Klinik HAM Lowenstein Universitas Yale menyebutkan :

"Bukti Historis dan Kontemporer betul-betul menyatakan bahwa Pemerintah Indonesia telah melakukan tindakan terlarang dengan tujuan untuk menghancurkan Orang-Orang Papua Barat, seperti halnya pelanggaran terhadap Konvensi 1948 tentang Pencegahan dan Hukuman terhadap Kejahatan Genosida (Pemusnahan Etnis – Pen.) dan Larangan-Larangan Hukum Internasional yang termasuk dalam Konvensi ini".

Mengingat studi ini, haruslah dicatat bahwa orang-orang asli Papua berbeda secara linguistik dan secara rasial dengan mayoritas orang-orang Indonesia. Orang-Orang Papua adalah Ras Melanesia dan dipercaya berasal dari Afrika sementara Mayoritas Orang Indonesia adalah Orang Jawa. Studi-studi seperti ditunjukkan diatas menguatkan indikasi bahwa Indonesia sedang melakukan genosida terhadap Orang Papua Barat melalui penindasan dan tindakan-tindakan kekerasan, dan tindakan genosida ini didasarkan pada Pandangan Rasisme.

Karena hal ini dan pertimbangan-pertimbangan lain, Uskup Agung Desmond Tutu, 174 Anggota Parlemen dan 80 LSM dari seluruh dunia telah melayangkan surat kepada Sekjen PBB Kofi Annan, meminta supaya sebuah peninjauan ulang diaktifkan. Pada gilirannya, Anggota Kongres Faleomavaega dan Anggota Kongres Payne telah menyerukan kepada negara-negara Afrika supaya meminta sebuah peninjauan kembali oleh Majelis Umum. Lagipula, Anggota Kongres Faleomavaega dan Anggota Kongres Payne telah memasukan bahasa ‘sejarah’ dalam RUU Otoritas Hubungan Luar Negeri AS untuk FY 2006 dan 2007, yang meminta Departemen Luar Negeri AS untuk menyampaikan kepada Kongres sebuah Laporan yang teliti tentang Pepera 1969.

Bahasa itu juga meminta Departemen Luar Negeri AS untuk memberikan laporan yang detail tentang penerapan Otonomi Khusus untuk Papua dan Acheh. Laporan-laporan seperti itu akan mencakup : (a). suatu penilaian menyangkut sejauh mana masing-masing Provinsi telah mengalami peningkatan dalam alokasi pendapatan dan otoritas pengambilan keputusan ; (b). sebuah gambaran tentang akses Pers (Wartawan) Internasional dan LSM-LSM di tiap-tiap Provinsi ; (c). suatu penilaian menyangkut peran yang dimainkan oleh Masyarakat Sipil Lokal dalam pemerintahan dan pengambilan keputusan ; (d). sebuah gambaran tentang tingkat keamanan dan tingkahlaku Aparat Keamanan Indonesia di masing-masing Provinsi; dan (e). sebuah gambaran tentang upaya-upaya AS untuk mempromosikan penghormatan terhadap Hak Azasi Manusia di masing-masing Provinsi.

Kongres Amerika Serikat telah meloloskan Undang-Undang ini pada tanggal 20 Juli 2005. Selama masalah ini dipending antara Kongres dan Senat, Anggota Kongres Faleomavaega dan Anggota Kongres Payne bertekad untuk menempatkan Indonesia dibawah sorotan sampai penghisapan, kekerasan dan rasisme di Papua Barat diakhiri.***
__________________
Catatan Penerjemah :

1. Terjemahan Press Release ini pernah dimuat di Website Suara Papua Merdeka Edisi 03 Januari 2006. Edisi asli dalam Bahasa Inggris terbit pada tanggal 16 Desember 2005 dan dapat diakses melalui link ini.

2. Term seperti : "the 1969 Act of No Choice" dan "the 1969 Act" dalam teks asli diterjemahkan sebagai "Pepera 1969" untuk memudahkan kampanye dalam negeri.

3. Saya sengaja memilih tanggal 03 Januari 2010 sebagai tanggal terbit ulang di Blog ini.

0 Komentar:

Posting Komentar