This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Jumat, 16 April 2010

Reason in Revolt (Bahasa Indonesia)

BUKU INI DITULIS oleh Ted Grant dan Alan Woods dan dipublikasikan pertama kalinya pada tahun 1995, yakni 100 tahun setelah wafatnya Engels. Lalu buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan pada tahun 2006 oleh IRE Press (Institute of Research and Empowerment). 

Buku ini membela kebenaran ide-ide filosofi Marx dan Engels dengan memaparkan penemuan-penemuan ilmiah abad ke 20 yang memberikan konfirmasi terhadap metode filosofi Marxisme, yakni dialektika materialisme. Kunjungi Situs Militan Indonesia>>>

Jumat, 09 April 2010

Ibu Sang Pembunuh Kelly Kwalik : Syukurlah Anak Saya Bisa Naik Pangkat!

SAHABAT Eve-K. Blogspot.Com dimana saja anda berada, saya punya cerita menarik hari ini, Jumat, 09 April 2010. Tadi pagi sekitar pukul 09.00 WPB, saya dengan dua orang kawan yang mau berangkat ke Nabire sempat singgah di sebuah Warung Padang di sekitar Taman Imbi, Jayapura Kota, untuk minum Teh sambil membahas rencana keberangkatan mereka. Didalam warung tersebut sudah ada banyak bukan orang Papua yang memesan minuman ringan. Mereka asyik bercerita. Saya dan dua orang kawan sempat mendengar cerita mereka dengan sangat jelas karena kami duduk berdekatan. 

Seorang Bapak dari antara mereka bertanya kepada seorang Ibu setengah baya : "Bagaimana kabar anakmu yang Polisi?. Sang Ibu menjawab : "Oh, dia sekarang ada urus kenaikan pangkat karena berhasil bunuh Kelly Kwalik barusan. Mereka dari Densus 88 ada 10 orang yang naik pangkat, Abel, Rachmat...ada lain lagi...". Bapak yang bertanya kemudian berkata : "Wah hebat...hebat...". Sang Ibu yang ditanya membalas dengan bangga : "Syukurlah anak saya bisa naik pangkat...dia tidak perlu tunggu empat tahun lagi..."

Mereka terus ngobrol tanpa memperhitungan posisi kami, paling tidak perasaan kami sebagai orang Papua. Walaupun mendengar kata-kata mereka dengan jelas, kami bertiga tidak menghiraukan mereka. Kami terus minum Teh yang kami pesan sambil omong-omong soal rencana kami. Setelah berpisah dengan dua orang kawan itu, saya terus berpikir, bagaimana sampai seorang ibu dari ras pemukim - yang hidup, bekerja, makan, kencing-berak dan beranak diatas tanah Papua - bisa bangga dengan anaknya yang membunuh seorang tokoh Papua? Saya memang pernah mendengar banyak cerita seperti ini tetapi baru kali ini saya mendengar langsung dari mulut kaum pemukim.

Saya kemudian menyimpulkan bahwa : Pertama, Anak dari Ibu yang cerita itu sudah pasti adalah salah satu dari 60 Anggota Tim Gabungan yang akan diberikan penghargaan berupa kenaikan pangkat dan berbagai kemudahahan lainnya seperti kesempatan mendapat pendidikan dan promosi jabatan sebagaimana diungkapkan Kadiv Humas Polri Irjen Pol Edward Aritonang di Jakarta belum lama ini. Aritonang, seperti dikutip WPToday, mengatakan bahwa Tim Gabungan yang menyergap dan membunuh Kelly Kwalik menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa dan nama Kepolisian, menjaga kehormatan korps saat berdinas.

Kedua, Ibu tersebut, dan tentu saja Bapak yang berbicara dengan dia, mengidap paham rasisme yang, oleh George M. Fredericks, dikategorikan sebagai Rasisme Biologis. Rasisme Biologis adalah cara pandang dan tindakan diskriminatif yang berkaitan dengan identifikasi terhadap etnis atau suku bangsa tertentu sebagai "yang lain" atau "the others" hanya karena perbedaan ciri-ciri fisik. Rasisme model ini adalah sebuah pandangan kuno dan lapuk yang menganggap bahwa investasi berharga yang dimiliki setiap manusia adalah warna kulit, rambut, asal suku bangsa dan umumnya - RAS tertentu. Alam bawah sadar ibu tersebut telah dikuasai oleh pandangan busuk ini sehingga dia merasa bangga dengan tindakan anaknya yang telah membunuh Kelly Kwalik yang dianggap sebagai "orang lain".

Ketiga, Ibu dan Bapak tersebut berasal dari suku-suku kanibal masa lampau yang mengaplikasikan kanibalisme dalam zaman modern saat ini. Kanibalisme, secara umum berarti sesuatu yang memangsa dan memakan sesamanya sendiri (bisa antar manusia atau antar hewan). Untuk manusia, kanibalisme secara tradisonal ini terjadi pada zaman dulu sebelum berkembangnya peradaban modern. Namun, perkembangan zaman tidak serta-merta menelan praktek-praktek kanibalisme. Ia justru mengambil bentuk baru dan menyesuaikan serta mengikuti perubahan dan perkembangan zaman. Suku Bangsa manusia yang gemar menguasai suku bangsa manusia lain merupakan pihak yang menjadi pelopor kanibalisme modern.

Salah satu model prakteknya yang nyata dan dapat kita lihat secara langsung adalah dengan membantai secara sadis suku bangsa lain yang dijajah kemudian memperoleh bayaran atau kenaikan pangkat dan, dengan pangkat yang tinggi tersebut, mendapat gaji dan tunjangan yang ujung-ujungnya dipakai untuk memberi makan diri sendiri, anak-istri, orang tua dan kerabat lain. Membantai korban secara sadis kemudian memutilasi jenazah korban menjadi model utama di Papua saat ini. Lihat saja kasus Kelly Kwalik pada akhir tahun 2009 dan Pendeta Kindeman Gire sekitar tiga minggu lalu.

Demikian cerita saya, saya harap orang-orang Papua bisa lebih meningkatkan kewaspadaan karena PARA KANIBAL sedang bergentayangan diantara kita dan bekerja secara profesional dengan memakai institusi negara dan pembenaran oleh undang-undang dan peraturan yang mereka buat sendiri, tetapi akan dianggap, meminjam kata-kata Aritonang, "menunjukkan prestasi yang mengharumkan nama bangsa dan nama kepolisian, menjaga kehormatan korps saat berdinas". Mereka yang kami anggap sebagai sesama warga negara, mereka yang kami terima kehadirannya diatas tanah kami tidak akan menganggap anda sebagai sesama manusia yang mempunyai hak hidup. Anda adalah korban yang siap disantap! Kelly Kwalik sudah mereka santap, mungkin besok giliran anda dan saya!

Minggu, 04 April 2010

Paskah : Penderitaan, Kematian dan Kebangkitan Yesus Dalam Kaca Mata Papua

PASKAH ADALAH SEBUAH perayaan dalam tradisi Kristiani untuk mengenang penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam tradisi gereja, ritual ini dinyatakan sebagai sebuah cara dimana dosa-dosa manusia ditebus dengan darah Yesus Kristus yang mati di kayu salib. Kebangkitan Yesus secara khusus dianggap sebagai kemenangan umat manusia atas kuasa maut. Ritual ini telah dijalankan sepanjang sejarah gereja dan penyebaran ajaran kristen di hampir seantero bumi.

Paskah, dalam kaca mata gereja erat kaitannya dengan hal-hal yang abstrak dan jauh dari realita kehidupan umat manusia diatas bumi ini dimana tercermin dari konsep-konsep abstrak seperti dosa, pengampunan dosa, kuasa maut dan simbol-simbol suci seperti surga dan neraka, lengkap dengan makhluk-makhluk suci yang melekat seperti Tuhan, Malaikat dan Iblis. Oleh sebab itu Paskah dalam ulasan ini kita sepakat saja bahwa ia memakai kaca mata tradisional atau konservatif.


Menghayati Paskah secara tradisional seperti ini berarti mengingkari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan penyangkalan terhadap kepemilikan manusia atas bumi tempat kita hidup dan berinteraksi secara sosial, politik, ideologi, budaya, ekonomi dan hukum. Ritual Paskah dengan pemahaman yang konservatif ini membentuk pola pikir umat/jemaat yang serba instant dengan cara menuduh Tuhan sebagai penyebab semua penderitaan diatas bumi dan dengan demikian, meminta Tuhan untuk menyelesaikan semua persoalan penderitaan tersebut. Penderitaan umat manusia, menurut tradisi gereja, adalah sesuatu yang selalu ada dan manusia diwajibkan untuk menghadapinya dengan tabah.


Singkat kata, manusia menjadi lupa akan kejahatan sistem sosial yang timpang. Manusia yang menderita menjadi lupa bahwa penderitaannya adalah akibat langsung dari posisi manusia lain yang sebenarnya sedang menjadi serigala bagi dirinya. Manusia yang menderita juga menjadi lupa bahwa dalam kerajaan imperialisme saat ini sebenarnya apa yang dinamakan kemajuan, pembangunan, modernisasi atau yang sejenisnya semua dibangun diatas tatanan yang tidak adil dimana si miskin - seumur hidupnya - diarahkan untuk membiayai, memberi makan dan memenuhi semua kebutuhan hidup si kaya untuk selama-lamanya.


Pemahaman paskah secara konservatif, harus diakui, telah menjadi pemahaman yang dominan di Papua. Sebagai sebuah daerah berbasis Kristen, rakyat Papua telah mengadopsi cara pandang konservatif ini dan memupuknya sejak generasi pertama menerima Kristen sebagai agama baru menggantikan posisi agama-agama suku yang divonis kafir, penuh dengan takhyul dan dekat dengan kuasa setan. Ratusan kali ritual Paskah dijalankan diatas tanah Papua sudah cukup kuat untuk menancapkan pemahaman konservatif kedalam kepala masyarakat Papua dan membentuk pola pikir serta cara bertindak mereka dalam menyelesaikan persoalan hidup.


Masyarakat Papua dikenal sebagai komunitas yang suka mengharapkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan persoalan komunitas mereka. Misalnya dalam memperjuangkan kedaulatan politik mereka, 99% orang Papua masih menaruh harapan akan bantuan Barat (Barack Obama, Melinda Jankie, Andrew Smith, Richard Samuelson, dll), Afrika (Nelson Mandela, Desmond Tutu, Benjamin Z, Koffi Anan, dll), Pasifik (Powes Parkop, Barak Sope, Moana Calosil, Eni Faleomavaega, dll) atau Indonesia (Muridan Widjojo, George Aditjondro, Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Gerakan Prodem, dll). Mengharapkan bantuan orang lain sebenarnya merupakan cerminan dari sikap kita yang suka mengharapkan bantuan Tuhan untuk menebus dosa-dosa kita melalui ritual Paskah.


Menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana cara kita memandang Paskah dan menerjemahkan Penderitaan, Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus sesuai dengan kondisi nyata kehidupan rakyat Papua saat ini. Hal ini menjadi penting karena gereja sendiri, terutama Gereja Katolik, telah sepakat untuk menjadikan institusi dan ajarannya sebagai bagian dari milik kaum pribumi dimana tata cara ritual, bahasa dan para imam semuanya harus berasal dari kalangan pribumi tempat Gereja bercokol. Memaknai Paskah dengan cara mengaitkannya dengan kondisi Papua saat ini, menurut hemat saya akan membuat rakyat Papua percaya pada diri sendiri dan mempunyai semangat yang teguh untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka tanpa terus-menerus mengemis bantuan dari Tuhan atau orang lain. (Bersambung)