This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Welcome to our website. Neque porro quisquam est qui dolorem ipsum dolor.

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes. Ne per probo magna idque, est veniam exerci appareat no. Sit at amet propriae intellegebat, natum iusto forensibus duo ut. Pro hinc aperiri fabulas ut, probo tractatos euripidis an vis, ignota oblique.

Ad ius munere soluta deterruisset, quot veri id vim, te vel bonorum ornatus persequeris. Maecenas ornare tortor. Donec sed tellus eget sapien fringilla nonummy. Mauris a ante. Suspendisse quam sem, consequat at, commodo vitae, feugiat in, nunc. Morbi imperdiet augue quis tellus.

Kamis, 08 Oktober 2009

Pantaskah Wakil Agama Menjadi Anggota MRP?

PANTASKAH Wakil Agama Menjadi Anggota MRP? Inilah pertanyaan mendasar yang patut direnungkan saat ini, tidak hanya oleh Rakyat Papua (Masyarakat Agama), tetapi juga, terutama, oleh Para Tokoh Agama Kristen dan Islam (mewakili dua agama mayoritas di Tanah Papua), sebelum 14 Orang Wakil Agama dipilih menjadi Anggota Majelis Rakyat Papua.
Pertanyaan renungan diatas didasarkan pada kondisi obyektif kehidupan Rakyat Papua yang sedang babak belur dibawah penindasan Neo-Kolonialisme dan Militerisme Indonesia serta Neoliberalisme/Imperialisme Ekonomi Global. Basis obyektif lainnya adalah Spirit kelahiran Agama Kristen dan Islam di muka bumi yang secara filosofis merupakan Instrumen Pembebasan Sosial.

Dimana-mana, dalam sejarah perkembangan umat manusia yang ditandai dengan pertentangan kelas dalam hubungan-hubungan sosialnya, situasi penindasan yang mengungkung kehidupan sebuah Bangsa, Komunitas atau Kelas Sosial tertentu biasanya akan bertahan lama kalau Agama ditampilkan sebagai alat untuk melegitimasi penindasan tersebut. Bentuk legitimasinya dapat berupa Sikap Bungkam para Tokoh Agama terhadap kejahatan penindas, bisa juga berupa Dukungan para Tokoh Agama terhadap struktur penindasan dan kekuasaannya.

Supaya rakyat dari bangsa, komunitas atau kelas sosial yang ditindas itu menjadi pasif dan menerima penindasan sebagai sebuah nasib atau takdir, maka unsur-unsur mistis dalam agama yang digali dari penafsiran atas ayat-ayat Kitab Suci menurut selera penindas akan dipompakan secara rutin kepada mereka. Tujuannya hanya satu, yaitu untuk memanipulasi kesadaran mereka.

Akibatnya, Rakyat akan terhegemoni dan melihat kerja-kerja penindas dengan cara pandang yang naif dan terbalik. Mereka secara membabibuta akan menganggap penindas sebagai pembebas dan strategi-strategi mematikan yang digulirkan oleh penindas untuk mengabadikan penindasan akan dianggap sebagai sebuah Gerakan Pembebasan.

Pada titik ini, basis filosofis agama sebagai Instrumen Pembebasan Sosial mengalami involusi menjadi “Minuman Keras Spiritual” atau apa yang oleh Karl Marx disebut sebagai Candu Rakyat : Agama dipakai untuk menenangkan Rakyat Tertindas, mengalihkan perhatian mereka kepada hal-hal Surgawi dan membuat mereka “Mati Rasa” terhadap penindasan, agar mereka tidak boleh menyerang dan menumbangkan kekuasaan penindas dengan jalan Revolusi.

Untuk kasus Papua saat ini, dukungan para Tokoh Agama terhadap Majelis Rakyat Papua, sekecil apapun dukungan tersebut, adalah merupakan bentuk legitimasi terhadap penindasan atas Rakyat Papua. Tidak ada satupun argumen yang secara manusiawi dapat dipakai untuk membenarkan tindakan mereka, karena MRP adalah icon UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.

Berdasarkan fakta bahwa Otonomi Khusus merupakan icon Kapitalisme Global yang dijalankan oleh Neo-Kolonialisme dan Militerisme Indonesia diatas penderitaan Rakyat Papua, maka secara transitif MRP juga merupakan icon Kapitalisme dengan segala embel-embelnya.

Kalau para Tokoh Agama melegitimasi penindasan atas Rakyat Papua, dalam arti bahwa mereka terlibat dalam proses-proses politik terkait Penyusunan Draf PP 54 tahun 2004 tentang MRP, Perdasi No. 4 tahun 2005, sampai pada penggodokan Calon Agama untuk memenuhi kuota 14 Kursi dalam MRP, maka tindakan tersebut jelas bertentangan dengan inti Ajaran Agama itu sendiri. Ini berarti, para Tokoh Agama tersebut secara sadar telah memperkosa Ajaran Agama yang diyakininya karena Kitab Suci yang selalu dalam genggaman kedua tangannya ternyata dipakai untuk merendahkan martabat manusia.

Kita, sebagai Masyarakat Agama di Tanah Papua, yang sedang menjadi obyek bidikan para Tokoh Agama perlu bertanya : Apakah tindakan para Tokoh Agama yang membangun Solidaritas Sejati dengan penindas itu sejalan dengan Ajaran Yesus Kristus tentang Cinta Kasih (Solidaritas Sejati dengan Kaum Tertindas)? Apakah tindakan para Tokoh Agama itu sejalan dengan penderitaan dan pengorbanan Yesus di Kayu Salib demi penebusan dosa umat manusia (Dosa = Pemiskinan Massal, Pembodohan Massal, Pembunuhan Massal, dlsbnya)? Atau dalam Ajaran Islam, Apakah tindakan para Tokoh Agama itu sejalan dengan Teladan Nabi yang selalu membela Kaum Mustadh’afin ? Apakah pilihan mereka menjadi antek penindas itu sejalan dengan semangat Islam dalam Pembebasan Manusia dari apa yang disebut Al Qur’an sebagai “belenggu-belenggu yang memasung kehidupan mereka” ?

Pertanyaan-pertanyaan diatas, ditambah dengan pertanyaan fundamental yang menjadi judul tulisan ini hendaknya menjadi bahan renungan dan diskusi kita. Apabila kita sepakat dengan Basis Filosofis Agama Kristen maupun Islam sebagai Instrumen Pembebasan Sosial, maka para Tokoh Agama yang berkolaborasi dengan Penguasa Indonesia untuk membentuk MRP dengan 14 Wakil Agama sebagai bagian dari 42 Orang Anggotanya patut ditempatkan di jajaran penindas.

Kalau Rakyat Papua, dalam Perjuangan Pembebasan Nasional-nya (Revolusi Demokratik) saat ini sedang berhadapan dengan tiga kekuatan penindas yakni Neo-Kolonialisme Indonesia, Militerisme Indonesia dan Neoliberalisme/Imperialisme Ekonomi Global, maka para Tokoh Agama secara nyata sudah menambah satu lagi musuh bebuyutan Rakyat Papua yakni mereka sendiri, para Tokoh Agama. Tergantung Rakyat Papua, apakah mereka, para Tokoh Agama ini mau disatukan dalam komponen Neo-Kolonialisme Indonesia atau dibiarkan menjadi komponen tersendiri yang terpisah dari ketiga musuh tersebut.

Pertanyaannya, apakah kita bisa melawan orang-orang yang selama ini kita anggap Kudus karena posisi mereka sebagai “Penghubung” antara Manusia dengan Tuhan? Apakah kita bisa menentang tindakan mereka sementara kesadaran mayoritas rakyat kita sudah berhasil dimanipulasi sehingga kita tidak kritis? Apakah kita sanggup melawan mereka kalau kita sudah terlanjur percaya 100% atas penipuan mereka bahwa pikiran-pikiran seperti tertuang dalam tulisan ini keluar dari kepala orang-orang frustrasi dan pantas disebut provokator? INI YANG JADI SOAL!

Jayapura, 8 Oktober 2005
______________

Catatan : Tulisan ini pertama kali dimuat di Website Suara Papua Merdeka. Saya sengaja memuat kembali di Blog ini sebagai bahan referensi saja dengan memilih tanggal yang sama yaitu tanggal 8 Oktober 2009.