Minggu, 04 April 2010

Paskah : Penderitaan, Kematian dan Kebangkitan Yesus Dalam Kaca Mata Papua

PASKAH ADALAH SEBUAH perayaan dalam tradisi Kristiani untuk mengenang penderitaan, kematian dan kebangkitan Yesus Kristus. Dalam tradisi gereja, ritual ini dinyatakan sebagai sebuah cara dimana dosa-dosa manusia ditebus dengan darah Yesus Kristus yang mati di kayu salib. Kebangkitan Yesus secara khusus dianggap sebagai kemenangan umat manusia atas kuasa maut. Ritual ini telah dijalankan sepanjang sejarah gereja dan penyebaran ajaran kristen di hampir seantero bumi.

Paskah, dalam kaca mata gereja erat kaitannya dengan hal-hal yang abstrak dan jauh dari realita kehidupan umat manusia diatas bumi ini dimana tercermin dari konsep-konsep abstrak seperti dosa, pengampunan dosa, kuasa maut dan simbol-simbol suci seperti surga dan neraka, lengkap dengan makhluk-makhluk suci yang melekat seperti Tuhan, Malaikat dan Iblis. Oleh sebab itu Paskah dalam ulasan ini kita sepakat saja bahwa ia memakai kaca mata tradisional atau konservatif.


Menghayati Paskah secara tradisional seperti ini berarti mengingkari keberadaan manusia sebagai makhluk sosial dan merupakan penyangkalan terhadap kepemilikan manusia atas bumi tempat kita hidup dan berinteraksi secara sosial, politik, ideologi, budaya, ekonomi dan hukum. Ritual Paskah dengan pemahaman yang konservatif ini membentuk pola pikir umat/jemaat yang serba instant dengan cara menuduh Tuhan sebagai penyebab semua penderitaan diatas bumi dan dengan demikian, meminta Tuhan untuk menyelesaikan semua persoalan penderitaan tersebut. Penderitaan umat manusia, menurut tradisi gereja, adalah sesuatu yang selalu ada dan manusia diwajibkan untuk menghadapinya dengan tabah.


Singkat kata, manusia menjadi lupa akan kejahatan sistem sosial yang timpang. Manusia yang menderita menjadi lupa bahwa penderitaannya adalah akibat langsung dari posisi manusia lain yang sebenarnya sedang menjadi serigala bagi dirinya. Manusia yang menderita juga menjadi lupa bahwa dalam kerajaan imperialisme saat ini sebenarnya apa yang dinamakan kemajuan, pembangunan, modernisasi atau yang sejenisnya semua dibangun diatas tatanan yang tidak adil dimana si miskin - seumur hidupnya - diarahkan untuk membiayai, memberi makan dan memenuhi semua kebutuhan hidup si kaya untuk selama-lamanya.


Pemahaman paskah secara konservatif, harus diakui, telah menjadi pemahaman yang dominan di Papua. Sebagai sebuah daerah berbasis Kristen, rakyat Papua telah mengadopsi cara pandang konservatif ini dan memupuknya sejak generasi pertama menerima Kristen sebagai agama baru menggantikan posisi agama-agama suku yang divonis kafir, penuh dengan takhyul dan dekat dengan kuasa setan. Ratusan kali ritual Paskah dijalankan diatas tanah Papua sudah cukup kuat untuk menancapkan pemahaman konservatif kedalam kepala masyarakat Papua dan membentuk pola pikir serta cara bertindak mereka dalam menyelesaikan persoalan hidup.


Masyarakat Papua dikenal sebagai komunitas yang suka mengharapkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan persoalan komunitas mereka. Misalnya dalam memperjuangkan kedaulatan politik mereka, 99% orang Papua masih menaruh harapan akan bantuan Barat (Barack Obama, Melinda Jankie, Andrew Smith, Richard Samuelson, dll), Afrika (Nelson Mandela, Desmond Tutu, Benjamin Z, Koffi Anan, dll), Pasifik (Powes Parkop, Barak Sope, Moana Calosil, Eni Faleomavaega, dll) atau Indonesia (Muridan Widjojo, George Aditjondro, Megawati Soekarnoputri, Surya Paloh, Gerakan Prodem, dll). Mengharapkan bantuan orang lain sebenarnya merupakan cerminan dari sikap kita yang suka mengharapkan bantuan Tuhan untuk menebus dosa-dosa kita melalui ritual Paskah.


Menjadi pertanyaan sekarang adalah, bagaimana cara kita memandang Paskah dan menerjemahkan Penderitaan, Kematian dan Kebangkitan Yesus Kristus sesuai dengan kondisi nyata kehidupan rakyat Papua saat ini. Hal ini menjadi penting karena gereja sendiri, terutama Gereja Katolik, telah sepakat untuk menjadikan institusi dan ajarannya sebagai bagian dari milik kaum pribumi dimana tata cara ritual, bahasa dan para imam semuanya harus berasal dari kalangan pribumi tempat Gereja bercokol. Memaknai Paskah dengan cara mengaitkannya dengan kondisi Papua saat ini, menurut hemat saya akan membuat rakyat Papua percaya pada diri sendiri dan mempunyai semangat yang teguh untuk menyelesaikan berbagai persoalan mereka tanpa terus-menerus mengemis bantuan dari Tuhan atau orang lain. (Bersambung)

1 Komentar:

  1. Yang dirayakan adalah pengorbanan dan kemenangan seorang oknum atas penderitaan umat manusia di Bumi. Yang mestinya dirayakan orang Papua adalah pengorbanan para oknum Papua demi bangsa dan tanah Papua, tanpa pamrih, secara sukarela dan secara total.

    BalasHapus